Kamis, 20 Oktober 2011

Resume buku From Zero to Hero (bagian 1)


Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas, dan komunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqih, muamalah, jinayah dan hokum-hukum kriminal.
Namun ada yang ganjil dalam majelis itu, ternyata sang guru jauh tampak jauh lebih muda daripada murid-muridnya. Bahkan di tengah prosesi belajar mengajar, ia sempat minta izin untuk minum, padahal siang itu adalah bulan Romadhon. Kontan saja “ulah” sang guru menuai protes. “Kenapa anda minum, padahal ini kan bulan Romadhon?”, Tanya para murid. Ia menjawab “Aku belum wajib berpuasa.”
Siapakah sang guru yang terlihat nyelenh tersebut? Ia adalah Muhammad Idris Asy Syafi’I. yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi’i.
Kita tak usah heran dengan fragmen ini, karena pada usia belum baligh Imam Syafi’I sudah menjadi ulama yang disegani. Usia Sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an. Usia sepuluh tahun isi kitab Al Muwatha’ karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan mufti (semacam hakim agung) kota Makkah, sebuah jabatan prestisius pada masa ituu. Bahkan di bawah usia 15 tahun, Imam syafi’I sudah dikenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat syair, jago qiroaat, serta diakui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab yang asli. Subhanalloh.
Mari bercermin pada Imam Syafi’I muda yang melakukan percepatan diri, sehingga hidupnya selalu terisi dengan prestasi menyejarah hingga kini. Bagaimanakah dengan diri kita? Mampukah kita mencatatkan prestasi-prestasi minimal dalam sejarah hidup kita sendiri?
Sering kali kita temui betapa banyaknya kaum muda yang memberikan berbagai macam dalih atas hambatan yang mereka temui dalam dalam usaha mereka untuk menggoreskan prestasi. Memang tidak semua manusia memiliki latar belakang yang sama, ada yang kaya ada yang tidak kaya, ada yang memiliki pendidikan formal tinggi ada yang tidak, dan lain-lain. Namun sadarkah kita bahwasanya Alloh yang maha adil telah memberikan modal yang sama bagi seluruh umat manusia? Yaitu waktu (masa)
Kalau dihitung-hitung, masing-masing waktu kita sama : 60 detik dalam 1 menit, 60 menit dalam 1 jam dan 24 jam dalam sehari, 7 hari sepekan dan seterusnya, anda hitung sendirilah waktu anda. Namun kata Iman Al Ghazali, kalau orang umurnya 60 tahun rata-rata dan menjadikan 8 jam sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun ia telah tidur 20 tahun. Luar biasa…banyak banget tidurnya ya. Lha perstasinya mana…? Itulah kebiasaan manusia. Apakah termasuk kita?
Waktu adalah momentum untuk berprestasi. Demi masa, demikian Alloh bersumpah. Bukan main-main tentunya, karena Alloh menegaskan bahwa sesungguhnya manusia pasti akan merugi kalau tidak memperhatikan waktu, kecuali 4 golongan : Orang yang beriman, orang yang beramal shalih, orang yang nasehat-menasehati dalam kebenaran, orang menasehati dalam kesabaran. Sebagaimana firman Alloh dalam Q.S Al Ashr ayat 1-3 :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati  supaya menetapi kesabaran.”
Menyikapi ayat ini, Imam Syafi’I Rahimulloh berkata. “Seandainya manusia memahami ayat ini cukuplah agama baginya…” Apa maksudnya? Surat ini merupakan intisari bahwa hidup adalah kumpulan waktu. Yang tak mampu menggunakan waktu dialah orang yang dijamin bakal rugi, persis orang yang sudah mati.
Sejarah mencatat, banyak orang besar justru lahir di tengah himpitan kesulitan bukan buaian kemanjaan. Diantaranya adalah Al Sarkashi dipenjara dan mampu menulis kitab Mabsuth dalam 30 jilid. Ibnu Taimiyyah dapat mengarang 30 jilid kitab Majmu’ Fatawa juga di dalam penjara. Sayyid Quthub menulis kitab Tafsir Fi Zhilaalil Qur’an sebanyak 12 jilid saat di penjara. Beliau juga menulis kitab Ma’alim fith Thariq juga di penjara. Hamka menulis Tafsir Al Azhar juga ketika di penjara.
Kita akui, kita orang biasa. Banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan dll. Itu bukan masalah. Bagaimana di tengah keterbatasan itu kita dahsyatkan diri agar lahir prestasi tinggi. Itulah kepahlawanan sejati, From Zero to Hero!
Makin jelaslah bahwa kemampuan untuk memanfaatkan waktu yang kita miliki sebaik mungkin merupakan salah satu kunci kesuksesan utama seorang manusia, bahkan Imam Syahid Hasan Al Bana mengatakan “Ketauhilah, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia….” Perkataan ini menggambarkan betapa sedikitnya waktu kita dibandingkan dengan pekerjaan besar yang harus dikerjakan, amanah mulia yang harus ditunaikan, obsesi besar yang musti direalisasikan.

Karena waktu kita sedikit, kesempatan yang ada di dunia ini begitu sempit, mengapa kita tidak mengoptimalkannya untuk menjadi bekal di massa-massa sulit di hari di mana tiada lagi berguna harta dan anak-anak kecuali menghadap Alloh dengan hati yang bersih.



Sumber: Zero to Hero, Solikhin Abu Izzudin